PENGERTIAN NASIKH-MANSUKH



NASIKH – MANSUKH DALAM AL – QURAN
Makalah
Disususn Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Ulumul AL – Quran
Dosen Pengampu : Safrodin, S. Ag., M. Ag

Disusun Oleh :
                                        Mahmudah                                   ( 1401016090 )
                                       Misbakhul Khoir                           ( 1401016091 )
                                      Akhmad Kharir                              ( 1401016092 )
editor
Reza Muhammad Azhari 1401016084


                FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI              
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
                                   


        I.            PENDAHULUAN
Salah satu tema dalam ulumul AL-quran yang mengundang perdepatan paraulama adalah mengenai nasikh-mansukh. Perdepatan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidak adanya ayat-ayat mansukh (dihapus) dalam AL-quran , antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa di antara ayat-ayat tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan. Oleh karna itu, mereka menerima teori nasikh (penghapusan) dalam AL-quran. Sebaliknya, bagi para ulama yang berpendapatan bahwa ayat-ayat tersebut keseluruhannya bisa dikompromikan,tidak mengakui teori penghapusan itu.

     II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Naskh Al-Mansukh?
2.      Bagaimana cara membedakan Nasikh Al-Mansukh?
3.      Bagaiman pendapat ulama mengenai Nasikh Al-Mansukh?
4.      Apa jenis-jenis pembagian Nasikh Al-Mansukh?
5.      Apa hikmahnya Naskh Al-Mansukh ?

   III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Naskh
Secara lughawi, ada empat makna naskh yang sering diungkapkan uluma  yaitu sebagai berikut:
1)      Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut:
Artinya:
            “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memutuskan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah manguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha  Bijaksana.” (QS. AL- Hajj (22): 52)

2)      Tabdil ( penggantian ), seperti dalam berikut ayat:
Artinya:
        “Dan apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata,’sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan, kebanyakan mereka tiada mengetahui.”( QS. An-Nah(16):101)
3)      Tahwil ( memalingkan), seperti tanasukh Al- mawarits, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4)      Naql (memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain), seperti nasakhtu Al-kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafazh dan  tulisannya.
Adapun bagi segi terminologi, para ulama mendefinisikan naskh, dengan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama, dengan: “raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i” kun(menghapuskan hukum syara dengan khitab syara pula). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri. Sedangkan mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dan dipindahkan.[1]

B. Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1.Keterangan tegas dan nabi atau sahabat,
2.Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini  nasakh dan ayat itu.
3.Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian tununnya dalam perspektif sejarah.





C. Pendapat Ulama tentang Nasakh dan Mansukh
Ada tidaknya nasakh mansukh dalam Al-quran sejak dahulu diperdebatkan para ulama. Adapun sumber perbedaan pendapat tersebut adalah berawal dan pemahaman mereka tentang ayat
Seandainya Al-quran ini datangnya bukan dan Allah, niscaya mereka akan menemukan kontradiksi yang sangat banyak. (QS. An-Nisaa’ 82).
Kesimpulan dan ayat di atas mengandung prinsip yang diyakini kebenarannya oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat Al-quran yang secara zahir menunjukkan kontradiksi.
 Ada dua pendapat ulama  tentang Nasakh dan mansukh yaitu :
1. Nasakh secara Logika
2.Nasakh Secara Logika dan Syara’


D . Pembagian Nasakh
    Nasakh ada empat bagian:
1. Nasakh Al-quran dengan Al-quran:Para ulama sepakat akan kebolehannya.
2. Nasakh Al-quran dengan sunnah. Bagi kalangan ulama hanafiya, naskh semacam ini diperkenankan bila sunnahyang menghapusnya sunnah mutawatir atau mansyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah akad.  Ushul,ar-benar
3. Nasakh Sunnah dengan Al-quran. Menurut mayoritas ahli ushul, naskh semacam ini benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat ke Bait Al-Muqaddas menjadi ke kabah.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah. Bagi Al-Qaththan, pada dasarnya, ketentuan naskh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.

E. Hikmah Keberadaan Naskh
Menurut Manna’ Al-Qaththan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh, yaitu:
1.        Menjaga kemaslahatan hamba
2.        Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.        Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang dihapus.
4.        Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertanbahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.[2]

VI. KESIMPULAN
                        Nasakh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapuskan atau memindahkan.Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan.  Para ulama sepakat adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan sunnah,
Syari’at selalu memelihara kemaslahatan ummat, oleh karena itu nasikh itu mesti ada dan terjadi pada sebagian hokum – hokum. Nasikh itu terjadi pada berita – berita, tetapi terjadi pada hukum – hukum yang berhubungan dengan halal dan haram. Hukum – hukum itu bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusia’. Menyimpang dari jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang – orang yang sesat akan menjadi penyebab kesengsaraan.

VII. PENUTUP
                      Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami tunggu untuk perbaikan makalah yang akan datang. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan, dan semoga makalah ini bagi kita amin.









DARTAR PUSTAKA


Badr Ad-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi’ulum Al-Quran.

Jalaluddin As-suyuti, Al-Itqan fi’Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut. t.t


Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp., 1973

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Pusaka Setia, Bandung, 2006.


           
.







[1] Dr. Rosihan Anwar M.Ag, ulum Al-Quran, pustaka setia, Bandung, 2008,hlm. 164
[2] Dr. Rosihon Anwar, M. Ag, ulum Al-Quran, Setia pusaka, Bandung, 2008,halm. 177-179

Komentar

Postingan Populer