PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM TAFSIR AL-QUR'AN



 A.    Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, untuk disampaikan kepada umat Islam, dan al-Qur’an adalah sebagai pedoman aturan kehidupan bagi umat Islam yang bersifat historis dan normatif.
Ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat historis dan normatif  tidak semua dapat dipahami secara tekstual saja, karena banyak dari ayat-ayat al-Quran yang masih mempunyai makna yang luas (abstrak) dan perlu untuk ditafsirkan lebih dalam, agar dapat diambil sebuah hukum ataupun hikamah yang dapat dipahami dan diamalkan oleh seluruh Manusia secara umum dan umat Islam secara khusus.
Al-Qur’an juga sebagai aturan yang menjadi penentu dasar sikap hidup manusia, dan membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih mendetail, karena pada zaman sekarang banyak permasalahan-permasalahan yang komplek, dan tentunya tidak sama dengan permasalahan-permasalahan yang ada pada zaman nabi Muhammad SAW.
Tafsir al-Qur’an yang dianggap mampu menjadi solusi dari kondisi di atas mengalami perkembangan yang luar biasa. Ahli tafsir dengan berbekalkan keilmuannya mengembangkan metode tafsir al-Qur’an secara berkesinambungan untuk melengkapi kekurangan atau mengantisipasi penyelewengan ataupun menganalisa lebih mendalam tafsir yang sudah ada (tentunya tanpa mengesampingkan asbab al-nuzul, nasikh wa mansukh, qira’at, muhkamat mutashabihat, ‘am wa khash, makkiyat madaniyat, dan lain-lain).
Tipologi tafsir berkembang terus dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan dan kontek zaman, dimulai dari tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir riwayat berkembang ke arah tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur menggunakan nash dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara tafsir bi al-ra’yi lebih mengandalkan ijtihad dengan akal. Sedangkan berdasarkan metode terbagi menjadi: tafsir tahlili, tafsir maudhu’i, tafsir ijmali dan tafsir muqaran.
Tafsir maudhu’i atau tematik adalah tafsir berperan sangat penting khususnya pada zaman sekarang, karena tafsir maudhu’i dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dan mampu menjawab permasalahan yang ada. Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik. Dengan adanya pemaparan di atas, penulis menganggap tafsir tematik adalah topik  yang menarik untuk dibahas, maka dari itu penulis menjadikan tafsir maudhu’i sebagai topik pembahasan dalam makalah ini.

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Metode Tafsir
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan.[1][1] Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan.[2][2]
Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan atau suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisik pun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Metode tafsir al-Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus diperhatikan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Maka, apabila seseorang menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pikiran).[3][3]
Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir, yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut. Maka pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbadingan), misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan  metode terhadap ayat-ayat al-Qur’an, disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafisran”. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Qur’an.[4][4]
Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang sufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawuf.[5][5] Jadi dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya.

2.      Pengertian Tafsir Maudhu’i
Secara etimologi tafsir berarti, menyikap maksud dari suatu lafal yang sulit untuk difahami.[6][6] Menurut Manna’ Khalil al-Qathan pengertian etimologinya adalah menjelaskan, menyikap dan menerangkan makna yang abstrak.[7][7]
Sedangkan secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata موضوع  yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع  yang artinya masalah atau pokok pembicaraan,[8][8] yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Qur’an.[9][9]
Menurut al-Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif).[10][10]
Defenisi di atas dapat difahami bahwa sentral dari metode tafsir maudhu’i   adalah menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain dan hal-hal lain yang dapat membantu memahami ayat lalu menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh.

3.      Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi Muhammad SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur.  Seperti yang dikemukakan oleh al-Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surat digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan. Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad: al-Insan fî al-Qur’an,al-Mar’ah fî al-Qur’an, dan karya Abul A’la al-Maududi: al-Riba fî al-Qur’an.[11][11]
Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surat al-Qur’an, Zarkashi (745-794 H/1344-1392 M), dengan karyanya al-Burhan,[12][12] misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surat demi surat. Demikian juga Suyuti (w. 911 H/1505 M) dalam karyanya al-Itqan.[13][13]
Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surat al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek ataupun topik.

4.      Pembagian Tafsir Maudhu’i
a)      Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Contoh:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ (١)يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ الرَّحِيمُ الْغَفُورُ (٢)

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.” (Q.S: Saba:1-2).

Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.

b)      Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.
Contohnya: Allah SWT, berfirman:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (٣٧)
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.” (Q.S: al-Baqarah: 37).

Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah di atas, nabi mengemukakan ayat, Sebagai berikut:
قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: “keduanya berkata: ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.” (Q.S: al-A‘raf: 23).

5.      Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i baru dimunculkan pada akhir tahun 1960 oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy[14][14] dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji secara maudhu’i (tematik).
b)      Menghimpun seluruh ayat al-quran yang terdapat pada seluruh surat al-Qur'an yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat makkiyyat atau surat madaniyyat.
c)      Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu).
d)     Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily).
e)      Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline) yang mencakup semua segi dari tema kajian.
f)       Mengemukakan hadith-hadith Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadith-hadith itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari tema itu. Dikemukakan pula riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dan tabi’in.
g)      Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan shair-shair mereka dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
h)      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.

Sedangkan  yang melakukan tafsir maudu’i dengan surat persurat menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Mengambil satu surat dan menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan surat tersebut, sebab-sebab turunnya dan bagaimana surat itu diturunkan (permulaan, pertengahan ataupun akhir, madaniyat atau makkiyat, dan hadith-hadith yang menerangkan keistimewaanya).
b)      Menyampaikan pengertian dari tujuan mendasar dalam surat dan membahas mengenai terjadinya nama surat itu.
c)      Membagi surat (khusus untuk surat yang panjang) kepada bagian-bagian yang lebih kecil, menerangkan unsur-unsurnya (meliputi ‘am khas-nya, nasikh mansukh-nya, lafaz-nya dalam bahasa Arab dan lain-lain) dan tujuan masing-masing bagian serta menetapkan kesimpulan dari bagian tersebut.
d)      Menghubungkan keterangan atau kesimpulan dari masing-masing bagian kecil tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.[15][15]

C.    Kesimpulan
Perkembangan studi tentang al-Qur'an, yang bertujuan untuk menggali isi dan maksud dari al-Qur'an sebagai pedoman dan aturan hidup manusia. Ternyata sudah berlangsung berabad-abad dan terus saja berkelanjutan sampai sekarang ini.
Tafsir maudhu’i sebagai metode terbaru, ternyata lebih relevan mengantarkan kita untuk mendapatkan solusi  yang diperlukan bagi masalah-masalah praktis di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, hasil tafsir ini memberikan kemungkinan bagi kita untuk menjawab tantangan hidup yang selalu berubah dan berkembang.





DAFTAR PUSTAKA

Akrom, Ahmad. Sejarah dan Metodologi Tafsir, terjemah dari: Ali Hasan Aridl. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Baidan, Nushruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988.
Farmawi al, Abd al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Kairo: Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, 1977.
Hassan, Fuad, dan Koentjaraningrat. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977.
Ibn Manzhur, Jamaluddin. Lisan Arab, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Khalil, Qaththan, Manna. Mabahis Fiy ‘Ulum al-Quran, Beirut: Mansyurat al-Ashr al Hadis, tt.
Muslim, Mustofa. Mabahith fi at-Tafsir al-Madu’i, Damaskus: Dar al-Qalam, 1989.
Muslim, Musthafa. Mabahis Fiy al-Tafsir al-Maudhu’i, Damaskus: Dar al-Qalam, 1997.
Sanaky, Hujair A.H. Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau Corak Mufassirin), Edisi Ke-XVIII, Al-Mawarid, 2008.
Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Quran, cet. Ke-XIX, Bandung: Mizan, 1999.
Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqan fi‘Ulum al-Qur`an. Kairo: Dar al-Turath, 1985.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia, cet. Ke-I, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Warson, Munawir, Ahmad. al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Surabaya: Pustaka Progesif, 1987.
Zarkashi, Muhammad. al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.



Metode Maudhu’i (Tematik)
Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
A. PEMBAHASAN DEFINISI TAFSIR MAUDHU’I
Tafsir maudhu’I menurut istilah para ulama adalah menghimpunkan seluruh ayat al-qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Setelah itu kalau kemungkinan di susun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnta adalah menguraikan nya dengan menjelejahi seluruh aspek yang dapat di gali. Tulisannya di ukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufassir dapat menyajikan tema secara utuh dan sempurna. Bersama dengan itu, dikemukakan pola tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian yank terdalam sekali pun dapat di salami.
Al-qur’an sesenguhnya menghimpun tema-tema yang perlu di gali dengan menggunakan metudi maudhu’I (temetik) seandainya seorang peneliti menggunakan metude ini dengan dengan penuh kejeniusan, tampaklah kepada kita kandungan Al-qur’an berapa di antaranya penetapan syari’at yang cocok untuk setiap waktu dan tempat. Dari sana kita dapat menetapkan undang-undang kehidupan yang siap berhadapan dengan dinamika kehidupan undang-undang wadh’iyyah, dan unsur-unsur ekstral yang kita hadapi dalam keragamaan kita sehari-hari.
Sebagai contoh, ayat-ayat yang menetapkan ketuhanan dan keesaan allah banyak terdapat pada surat-surat makkiyah dan surat-surat madaniyyah. Seandainya ada seorang mufassir menghimpun ayat-ayat itu mengurutnya atas dasar semangat metode maudhu’i (tematik) dan tepat, tidak akan ada lagi keraguan di dalam hati orang-orang kafir. Demikan pula ayat-ayat yang melarang riba dengan menggunakan metode ini si mufassir akan melihat bahwa larangan itu pada dasarnya merupakan kasih sayang allah kepada hamba-hambanya.
B. MACAM-MACAM TAFSIR MAUDHU’I
Bertolak dari pengantar di atas kita melihat dua macam tafsir maudhu’i. Keduanya mempunyai tuhan yang sama, yaitu menyikap hukum-hukum keterikatan dan keterkaitan di dalam Al-qur’an sebagai mana yang di lontarkan oleh para orientalis, dan menangkap petunjuk Al-qur’an mengenai kemaslahatan makhluk berupa undang-undang syari’at yang adil yang mendatangkan kebahagiaan dunia akhirat. Kedua macam tafsir madhu’i itu adalah sebagai berikut
1. Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal yang di dalamnya di kemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi.
Contoh Surat saba’ :
#${FöÚÇ ûÎ ruBt$ #$9¡¡Jy»quºNÏ ûÎ Bt$ 9smç¼ #$!©%Ï !¬ #$:øtpJôß ÈÊÇ #$:øƒs7΍Žç #$:øtp3ÅŠOÞ rudèqu 4 #$yFzōtoÍ ûÎ #$:øtpJôß ru!s&ã ƒt\ÍAã ruBt$ BÏ]÷kp$ sƒøãlß ruBt$ #${FöÚÇ ûÎ ƒt=Îkß Bt$ ƒtè÷=nNã #$9øótÿàqâ #$9§mÏŠOÞ rudèqu 4 ùÏŽkp$ ƒtè÷ãlß ruBt$ #$9¡¡Jy$!äÏ BÏÆš ÈËÇ
Artinya:
Segala puji bagi allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan baginya (pula) segala puji di akhirat dan dial ah maha bijaksana lagi maha mengetahui. Dia maha mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, dan apa yang keluar dari pada nya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik padanya. Dan dial ah yang maha penyayang lagi maha pengampun (QS. Saba: 1-2)
Surat ini di awali pujian bagi allah dengan menybutkan kekuasaannya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuannya yang universal, kekuasaannya yang menyeluruh dan kehendaknya yang bijak
2. Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakan di bawah satu judul lalu di tafsirkan dengan metode maudhu’i. kalau di sebut tafsir maudhu’i konotasi seperti ini lah yang di maksud. Bagian kedua ini menjadi fokus pembicaraan kami.
C. PERKEMBANGAN TAFSIR MAUDHU’I
Sudah di jelaskan dimuka tentng penafsiran nabi mengenai firman allah
Artinya :
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kedhaliman (syirik)
Dalam mengomentari penafsiran Nabi di atas, DR. Ali Khalil mengatakan Rasulullah SAW sebenarnya ingin member tahu kepada para sahabatnya bahwa ketidakjelasan sebuah ungkapan dalam Al-Qur’an dapat di selesai dengan melihat ungkapan dalam Al-Qur’an. Ia ingin menunjukan kepada kita bahwa sebenarnya benih tafsir maudhu’I sudah di tanam oleh nabi sendiri.
Dapat di tegaskan lagi di sini bahwa penafsiran al-Qur’an dengan Al-Qur-an, ini berarti merupukan bagian tafsir bil matsur-sesungguhnya merupakan bagian dari tafsir maudhu’I Dengan demikian dapat di katakan bahwa nabi pun telah memeloporinya.
Sebagai contoh Allah SWT berfirman
ÈÐÌÇ #$9§mÏìLã #$9G­q§#>Ü dèqu )ÎR¯mç¼ 4 ãt=nømÏ ùsGt$>z .x=ÎJy»M; §/nÎmϾ BÏ` äu#ŠyPã ùsGt=n)¤#
Artinya
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang
(QS. Al-Baqarah: 37)
Untuk menjelaskan kata “kalimat” pada firman Allah di atas, Nabi mengemukakan ayat:
ÈÌËÇ #$9øy»£ÅŽÎƒ`z BÏ`z 9sZu3äqðsûru?sömyJôYo$ 9sZu$ ?sóøÿύö 9©Oó ru)Îb &rRÿà¡|Zu$ ßs>sH÷Yo$! u/­Zu$ %s$wŸ
Artinya
“keduan ya berkata “Ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan member rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”
(QS. Al-a’raf: 23)
Contoh lain Allah SWT berfirman
 .u æt=nø3äNö ƒãF÷=n4 Bt$ )Îwž #${FR÷èy»OÉ 5ukÍŠJypè 9s3äN &émÏ=¯Mô 4
Artinya
“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali apa yang akan di bacakan kepadamu
(QS Al-maidah: 1)
Untuk menjelaskan pengecualian yang terdapat pada ayat di atas, Nabi merujuk firman Allah:
#$:øƒÏỸÍ ru:mtøNã ru#$!$¤Pã #$9øJyŠøGtpè æt=nø3äNã mãhÌBtMô
Artinya:
“Di haramkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi
(Q.S Al-Maidah: 3)
Benih-benih tafsir Maudhu’I dapat kita temukan pula pada dalam kitab-kitab tafsir , seperti yang di tulis oleh Fakhr ar-Razi, Al-Quthubi, dan Ibn Al-Arabi tetapi tokoh-tokoh itu tidak secara utuh menerapkannya dalam karyanya masing-masing melainkan pada beberapa bagian saja.
Namun, ada beberapa karya yang menggunakan metode penafsiran yang dekat dengan tafsir maudhu’I seperti:
1. Al Bayan fi aqsam Al-Qur’an, karya Ibnu Al-Qayyim.
2. Majaz Al-Qur’an, karya Abu Ubaidah.
3. An-Nasikh wa Al-mansukh fi AL-Qur’an, karya abu Ja’far An-Nahlas.
4. Asbab an-Nuzul, karya Al-Wahidi.
5. Ahkam al-Qur’an, karya Al-Jashashash
Siapa saja yang mengamati karya-karya di atas ia akan melihat hal-hal berikut ini
1. Dalam asbab An-Nuzul terlihat bahwa penulisnya berusaha menghimpun ayat-ayat yang turun karena sebab tertentu.
2. Dalam An-Nasakh wa Al-Mansukh terlihat bahwa penulisnya berusaha menghimpunkan ayat-ayat yang katanya di hapus lalu di himpun pula ayat-ayat yang menghapusnya
3. Dalam Majaz Al-Qur’an terlihat bahwa penulisnya berusaha menghimpun ayat-ayat yang mendukung redaksi alegoris (majaz)
Tampaklah bagi kita bahwa pertumbuhan tafsir maudhu’I sudah di mulai sebelum penulis karya tersebut tetapi saat itu tafsir maudhu’I belum menjadi sebuah metodologi penafsiran yang berdiri sendiri. Namun setidaknya dapat di katakan sesuatu yang baru dalam dunia penafsiran Al-Qur’an.
D. PENYEBAB KURANG DI PERHATIKANNYA TAFSIR MAUDHU’I PADA ZAMAN DAHULU
Sebagaimana di ketahui, ada penomena umum di kalangan mufassir dahulu untuk menafsirkan al-Qur’an baik secara terperinci maupun global ayat-perayat surat-persurat, hal itu di lakukan dengan tujuan mengungkapkan makna-makna dan rahasia-rahasia Al-qur’an dengan bantuan disiplin ilmu mereka masing-masing sehingga tafsir mengkristal menjadi aneka ragam metode dan corak di antara faktor kurangnya perhatian mereka terhadap Tafsir maudhu’i adalah sebagai berikut.
Partama, pada awalnyta tafsir maudhu’I, sebagai sebuah metode penafsiran, merupakan ternd dan motif perseorngan yang ingin mengkaji salah satu tema Al-Qur’an, trendx dan motif perseorangan ini kemudian di ikuti orang lain. Demikian seterusnya sampai sekarang. Adapun mufassir dahulu tidak pernah memiliki trend’an motif pribadi seperti ini (sebab motif mereka menafsirkan Al-Qur’an selalu di dahului oleh jepengtingan kolektif, bukan perseorangan).
Kedua, kebutuhan mereka akan Al-qur’an tidak menyentuh upaya untuk menela’ah tema-temanya.
Dari kedua alasan itu yang jelas salah satu faktor mencuatnya tafsir maudhu’i belakangan ini adalah sebelumnya metode ini tidak memperoleh perhatian yang serius dari para ulama.
E. FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PERHATIAN PARA ULAMA KINI TERHADAP TAFSIR MAUDHU’I
1. Mengingat Al-Qur’an merupakan nkitab suci samawi yang di turunkan kepada nabi yang paling sempurna dan menghimpun berbagai pengetahuan yang luhur, merupakan hal yang logis apabila di dalamnya di temukan keindahan dan keagungan yang hamper-hampir tidak dapat di temukan.
Tatkala Al-Qur’an ditunjukan kepada seluruh manusia, apapun jenisnya, juga tatkala dakwahnya yang luhur adalah menyucikan jiwa, menjelaskan akidah, melepasakan belenggu resialisme dan nasionalisme, serta menegakan undang-undang konvensional yang distruktif, tentunya Allah yang menuntut apa-apa dari kita, selain memahami dan merenungkan firmannya, sebab Al-Qur’an di turunkan sebagai cahaya dan petunjuk bagi seluruh manusia.
Syariat dan hukum-hukum yang dikandungnya yang nota-bene merupakan agama ketuhanan dan petunjuk yang dapat membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia akhirat tidak mungkin dapat di amalkan dengan benar sebelum di pahami terlebih dahulu. Adapun objek-objek kajian selain kedua hal di atas yang selama ini menjadi perhatian para mufassir, hanya subordinasi dan sarana untuk mencapai tujuan utama di atas.
Memperhatikan objek-objek itu tidak penting daripada memperhatikan syariat dan hukum Al-Qur’an yang hasilnya juga dapat menyingkap ketinggian sastra al-qur’an.
Al-Qur’an harus di kaji dengan baik dan seksama agar mampu menempatkan hukum-hukum yang berkaitan erat dengan kehidupan dan permasalahan manusia, serta menjelaskan norma-norma Al-Qur’an yang menyangkut politik, kemayarakatan, perekonomian, keamanan, dan perjalanan menuju tuhan sehingga mereka merasakan Al-Qur’an telah membumu dan tidak mengawang-awang
Para peneliti sekarang baik dari kalangan muslim ataupun non muslim tidak dapat mencapai tujuan di atas dengan menggunakan produk-produk penafsiran tahlili ada beberapa alasan untuk itu
A. Mereka membutuhkan metode penafsiran yang lebih praktis untuk memecahkan kemuskilan dan menangkap kesatuan tema dalam Al-Qur’an walaupun terdiri atas berbagai ayat yang bunyi dan maknanya berbeda metode ini adalah maudhu’i (tematik) Dengan menggunakan metode ini mereka akan melihat satu kesatuan tema yang saling melengkapi. Oleh karena itu mereka tidak membutuhkan metode tahlili untuk sampai pada tema-tema Al-Qur’an.
B. sebagian dari mereka tidak memiliki konfidensi, kualifikasi, dan wawasan yang memadai untuk mengkaji Al-Qur’an sehingga dapat menghimpun pecahan-pecahan tema-tema Al-Qur’an menjadi satu kesatuan yang sempurna.
C. Mereka tidak memiliki wawasan kebudayaan islami yang medorong untuk melakukan kajian-kajian keislaman dalam merambah tujuan hidupnya. Oleh karena itu mereka meenjadi bingung tanpa mengetahui jalan mana yang harus di tempuh
2. Pada zaman modern ini kita mendapati beberapa orang baik dari kalangan muslim maupun nonmuslim yang atas nama ilmu melakukan kajian-kajian tema Al-Qur’an namun yang mereka hasilkan adalah keraguan dan paham-paham yang bathil karena mereka tidak memiliki kapabilitas untuk melakuannya. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi para ulama dan para imam tafsir pada zaman modern ini untuk menelaah tema-tema Al-Qur’an dengan menggunakan perangkat keilmuan modern sehingga misi-misi Al-Qur’an dapat di singkapkan
Tuduhan-tuduhan palsu tentang islam yang di lontarkan oleh kalangan orientalis sebenarnya merupakan akibat tidak di kajinya Al-Qur’an dengan metode maudhu’I (tematik) yang tidak prusedural
Mengingat pembahasan metode tematik sangat bermamfaat. Tujuan agar mampu mengantisifasi perkembanghan masa kini memberikan penyelesaianterhadap kepentingan-kepentingan manusia dan menjawab berbagai persoalan masa kini. Ketika generasi kita sekarang di hadapkan kebimbangan dan kebingungan. Terlebih lagi Allah membentangkan alan semesta yang luas di hadapan kita dan banyak pakar yang lahir karena pengamatannya terhadap alam ini. Dengan demikian seharusnya kita menjadi juru pengajak mereka menuju jalan Allah SWT. Dan mengajak mereka kepada islam yang telah di perjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, dan banyak orang islam dengan darahnya kita mempunyai misi untuk menegakan agama Allah.
F. FROSEDUR TEFSIR (METODE) MAUDHU’I (TEMATIK)
1. Metode yang mirip dengan maudhu’i (tematik) sudah ada sejak dahulu, tetapi belum merupakan satu metode yang memiliki prosedur jelas yang berdiri sendiri. Yang dapat kita katakan adalah bahwa saat itu sudah ada benih metode maudhu’i (tematik). Telah kami katakan di muka bahwa sebagian mufassir dahulu ada yang mengatakan salah satu tema Al-qur’an dalam karya mereka. Ada pula yang menggunakan maudh’i (tematik) pada beberapa bagian kitab tafsir mereka. Meskipun yang mereka gunakan mirip dengan metode maudhu’i (tematik) kami tidak pernah menemukan satupun karya mereka yang merumuskan metode ini dengan jelas.
2. Metode maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur yang jelas sesengguhnya belum lama lahir. Orang yang pertama memperkenalkan metode ini adalah DR. Ahmad As-Sa’id Al-Kumi, ketua jurusan tafsir universitas Al-Azhar. Lalu di ikuti oleh teman-teman dan mahasiswa-mahasiswanya.
Dapat kami rumuskan bahwa prosedur metode maudhu’i (tematik) adalah berikut ini.
1. Menetapkan masalah yang akan di bahas (topik)
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya di sertai pengetahuan tentang asbab an-nuzulnya
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersbut dalam suratnya masing-masing
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line)
6. Meellengkapi pembahasan dengan hadist-hadist yang relevan dengan pokok bahasan
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan deng jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengompromikan antara yang am (umum) dan yang khas (khusus, mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga semua bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau penaksaan.
Metode maudhu’I (tematik) ini terbilang baru di Fakultas Ushuluddin, tetpi sekarang banyak karya yang di tulis oleh pakar-pakar kenamaan yang mengunakan metode ini.
G. KEDUDUKAN METODE M,AUDHU’I DI ANTARA METODE TAFSIR YANG LAIN
Metode maudhu’I (tematik) memeliki spisifikasi yang tidak dimiliki oleh metode tafsir lainnya. Setelah mengamati secara seksama urgensi serta prosedur metode maudhu’i (tematik) siapa pun tidak akan membantah bahwa metode ini merupakan yang terbaik untuk menafsirkan Al-Qur’an.
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya berkata, ”jika ada seorang yang bertanya, “ mana metode yang paling baik untuk menafsirkan Al-Qur’an? “Jawabannya, adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sendiri sebagai kandungan yang bersifat global dalam suatu ayat akan di jelaskan oleh ayat lain.
Imam As-Sayuti, didalam bahasan “Ma’rifat Syuruth al-Mufassir wa Adabih.”mencitakan bahwa para ulama berkata, “Siapa saja yang hendak menafsirkan Al-Qur’an, carilah carilah dahulu tafsirannya dalam Al-qur’an sendiri. Sebab, kandungan yang global pada suatu tempat akan diperinci pada tempat lain, Kandungan yang ringkas pada suatu tempat akan diuraikan pada tempat yang lain. Oleh karna itu sebagai mana di katakan oleh DR. Ahmad Mahnan, belakangan ini banyak para peneliti yang menulis tafsir maudhu’i.
Metode maudhu’i (tematik), sebagae mana diutaran oleh Syekh Mahmud Syaltut, dapat menagantar manusia pada macam-macam petunjuk Al-Qur’an. (Haeus diketahui olreh siapa saja bahwa ) tema-tema Al-Qur’an bukan lah teori semata-mata yang tidak menyentuh persoalan-persoalan manusia
H. PERBEDAAN METODE MAUDHU’I (TEMATIK) DENGAN METODE TAFSIR LAINNYA
1. PERBEDAAN METODE MAUDHU’I (TEMATIK) DENGAN METODE TAHLILI
METODE TAHLILI
METODE MAUDHU’I (TEMATIK)
1. Mufassir terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
1. Mufassir tidak terikat dalam susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat, atau kronologi kejadian.
2. Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang di temukan kdalam satu ayat
2. Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang di kaji. Oleh karena itu ia dapat mengangkat tema-tema Al-Qur’an yang masing masing berdidri sendiri dan btidak bercampur aduk dengan tema-tema yang lain.
3. Mufassir berusaha menjelaskan segala sesuatu nyang di temukan di dalam ayat.
3. mufassir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung dalam satu ayat tetapi hanya berkaitan dengan pokok pembahasan.
4. Sulit di temukan tema-tema tertentu yang utuh.
4. mudah untuk menyusun tema-tema Al-Qur’an yang berdiri sendiri
5. Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak di gunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada
5. Walaupun benihnya di temukan sejak dahulu, sebagai sebuah penafsiran yang jelas dan utuh baru di kenal belakangan saja
2. PERBEDAAN METODE MAUDHU’I (TEMATIK) DENGAN METODE IJMALI (GLOBAL)
METODE IJMALI (GLOBAL) METODE MAUDHU’I (TEMATIK)
1. Mufassir terikat dengan susunan mushaf.
1. Mufassir tidak terikat dengan susuan mushaf
2. Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema dalam ada satu ayat
2. Mufassir tidak berbicara tema selain tema-tema yang di kaji
3. PERBEDAAN METODE MAUDHU’I (TEMATIK) DENGAN METODE MUQARAN (KOMPARASI)
METODE MUQARAN (KOMPARASI) METODE MAUDHU,I (TEMATIK)
1. Mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan apa saja yang di tulis oleh para mufassir 1. Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema-tema yang dikaji
2. Mufassir terikat dengan uraian para mufassir 2. Mufassir tidak terikat dengan uraian para mufassir
I. KEISTIMEWAAN (METODE) MAUDHU’I (TEMATIK)
Jika diamati dengan sesame, metode tafsir maudhu’I (tematik) sesuai dengan selera,pemikiran,dan kepentingan manusia saat ini, dan sejalan dengan perkembngan zaman modern, zaman yang para generasinya sedang dihadapkan barbagai kebingungan. Seandainya tela’ah-tela’ah Qur’ani dilakukan dengan metode modern, tentu manusia dan fikirannya akan merasa tenang menghadapi berbagai tentangan dan perkembangan teknologi. Meraka pun tentunya akan tahu benar hal-hal yang dapat menjauhkan dirinya dan agama.
Diantaranya keistemewaan metode tafsir maudhu’I (tematik) adalah sebagai berikut.
1. metode ini menghimpun semua ayat yang memilik kesamaan tema. Ayat yang satu menafsirkan ayat yang lain. Karena itu, metode ini juga dalam beberapa hal sama dengan tafsir bi al-ma’tsur sehingga lebih mendekati kebenaran dan jauh dari kekeliruan.
2. peneliti dapat melihat keterkaitan antara ayat yang memiliki kesamaan tema. Oleh karena itu, metode ini menangkap makna, petunjuk, keindahan, dan kefasihan Al-Qur’an.
3. peniliti dapat menangkap ide Al-Qur’an yang sempurna dari ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema.
4. metode ini dapat menylesaikan kesan kontradiksi antaya ayat Al-Qur’an yang selama ini dilontarkan oleh pihak-pihak tertuntu yang memilik maksud jelek, dan dapat menghilangkan kesan permusuhan antara agama dan ilmu pengetahuan.
5. metode ini sesuai dengan runtunan zaman moderen yang mengharuskan kita merumuskan hukum-hukum universal yang bersumber dari al-qur’an bagi seluruh Negara islam.
6. dengen metode ini, semua juru dakwah, baik yang profisional maupun amatiran, dapat menangkap seluruh tema-tema Al-Qur’an. Metode ini pun memungkinkan mereka untuk sampai pada hokum-hukum Allah dengan cara yank jelas dan mendalam, serta memastikan kita untuk menyingkap rahasia dan kemuskilan Al-Qur’an sehingga hati dan akal kita merasa puas terhadap aturan-aturan yang telah di tatapkan-nya kepada kita.
7. Metode ini dapat membantu para pelajar secara umum untuk sampai pada petunjuk Al-Qur’an tanpa harus merasa lelah dan bertele-tele menyimak urayan kitab-kitab tafsir yang baragam itu.
8. kondisi saat ini sebagai mana dikatakan DR.As-Sayyid Al-Kumi, membutuhkan sebuah metode tafsir yang lebih cepat menemukan pesan-pesan Al-Qur’an, khususnya pada zaman sekarang ketika atmosfir agama banyak dikotori oleh debu-debu penyimpangan, dan langit kemenusiaan telah ditutupi awan kesesatan dan kemusyrikan.
J. KEKELIRUAN SEPUTAR PENERAPAN METODE TAFSIR MAUDHU’I (TEMATIK)
Ada empat hal yang harus oleh siapa saja yang menggunakan metode tafsir maudhu’I (tematik).
1. hendaklah disadari bahwa menggunakan metode ini, dengan berkesimpulan telah menafsirkan Al-Qur’an memeliki keindahan, keajaiban, dan keagungan yang hakikat sebenarnya tidak akan diketahui. Sebab, jika dengban menggunakan metode ini iya berkesimpulan telah menafsirkan Al-Qur’an secara utuh, tetapi tidak dapat ditemukan misi-misi Al-Qur’an, iya tidak akan percya diri dan mersa ragu sehingga kesimpulan yang dihasilkannya akan keliru, baik dilihat dari semangat metode tafsir secara umum karena iya memeng tidak menggunakannya atau dilihat dari semangat metode maudhu’i.
2. Hendaklah disadari bahwa yang diteliti oleh metode ini hanyalah tema yang ditentukan, bukan diluar itu. Jika tidak, iya tidak akan melihat keindahan bahasa Al-Qur’an; tidak akan merasakan kemu’jijatan Al-Qur’an, dan tidak menemukan keindahan korelasi antara ayat segai mana yang ditemukan oleh metode tahlili. Oleh karna itu, jika seseorang tidak menemukan terlebih dahulu tujuannya ketika memehami Al-Qur’an, iya tidak akan sampai pada hasil yang ditawarkan oleh metode tahlili dan metode maudh’i.
3. Hendaklah disadari bahwa Al-Qur’an turun secara barangsur-angsur (tadarruf). Al-Qur’an diturunkan dalm jangka waktu dua puluh tiga tahun seiring dengan peristiwa yang melatar belakangi; atau dalam rangka mengaskan suatu ketentuan hokum; menjwab pertanyaan; meringankan beban hukum yang telah diturunkan; atau menaskh hukum yang telah ditetapkan. Orang yang tidak mengetahui mana surat-ayat yang lebig dahulu atau belakangan turun, asab an nuzul, munasabat (korelasi) antar surat/ayat, sunah-sunah nabi, dan pendapat para sahabat, akan tergelincir dalam kekeliruan.
Sebagai gambaran seorang mufassir dengn mengikuti metode maudhu’I menhimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang diantaranya ada yang bersifat mutlak, seperti ayat:
4 #$9hÌ/tq4#( rumy§Pt #$9ø7tøìy #$!ª ru&rmy@
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Q.S. Al-Baqarah:275)
Ayat yang bersifat muqayyad sereti ayat:
BÒŸ»èyÿxpZ &rÊôèy»ÿZ$ #$9hÌ/tq##( ?s'ù2à=èq#( wŸ äu#BtYãq#( #$!©%Ïïúš ƒt»¯'rƒgy$
Artinya:
“hai orang-orang yang beriman, jangan lah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan brtqwa blah kamu kepada allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
(Q.S. Ali-imron:130)
Lalu berkata “ Saya akan menjelaskan ayat mutlak itu dengan ayat yang muqayyad” ia berpendapat bahwa riba tidak di haramkan kalau tidak berlipat ganda. Jika keadaan it uterus berlangsung ia akan jatuh kedalam kekeliruan yang besar. Karena tidak selamanya ayat yang bersipat mutlak itu di jelaskan oleh ayat yang Muqayyad. Sebagaimana ayat yang bersifat khusus menjelaskan ayat yang bersifat umum. Umumnya hal itu bergantung pada mana yang lebih dahulu atau yang lebih belakangan turun dan di lihat dari tahapan persiapan hukum.
Pada contoh di atas, seandainya ia tahu bahwa larangan yang terdapat pada ayat yang muqayyad itu terus terlebih dahulu daripada ayat yang bersifat mutlak itu, dan seandainya ia tahu tahapan Al-Qur’an dalam penetapan hukum ia pasti tidak akan tergelincir ke dalam kekeliruan. Dalam kasus pengharaman ruiba di atas, riba yang pertama kali di haramkan adalah berlipat ganda sebagaimana telah m,enjadi penomena umum pada masyarakat jahiliyah saat itu, lalu turunlah perintah yang mengharamkan riba dari apapun bentuknya, baik berlipat ganda atau tidak. Sebagaiman diisyaratkan oleh firman Allah:
ƒt)àqPã .xJy$ )Îwž ƒt)àqBãqbt wŸ #$9hÌ/tq4#( ƒt'ù2à=èqbt #$!©%Ïïúš /Î'rR¯gßNö Œsº9Ï7y 4 #$9øJy§bÄ BÏ`z #$9±¤øÜs»`ß ƒtFty6¬Üämç #$!©%Ï #$!ª ru&rmy@3 #$9hÌ/tq4#( BÏW÷@ã #$9ø7tøìß )ÎR¯Jy$ %s$9äqþ#( BiÏ` BtqöãÏàsp× `y%!äunç¼ ùsJy` 4 #$9hÌ/tq4#( rumy§Pt #$9ø7tøìy ruBtÆï ( #$!« )Î<n ru&rBøãnç¼ÿ y=n#y Bt$ ùs#s&ã¼ ùs$$RFtgy4 §/nÎmϾ ÈÎÐËÇ zy»#Î$àrcš ùÏŽkp$ dèNö ( #$9Z$Í &r¹ôsy»=Ü ùs'ér'9s»¯´Í7y ãt$Šy
Artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri meliankan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu di sebabkan merekan berkata (berpendapat) “ sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba “ orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhanya , lalu terus berhenti (tidak mengambil riba),aka baginya apa yang telah di ambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghunu-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
(QS. Al-Baqarah: 2750
4. Ikutilah prosedur metode maudhu’i dengan konsekuen dan teliti. Jika tidak, format sebuah tema Al-Qur’an yang utuh tidak akan di temukan,
http://hendripalingkau.wordpress.com/2012/02/09/metode-tafsir-tematik/ 19.02

Sabtu, 03 Januari 2009

Ruang Lingkup Ilmu Dakwah

Sebagai ilmu yang mempelajari proses penyampaian ajaran Islam kepada umat, ilmu dakwah memiliki ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Dakwah itu identik dengan pembangunan fisik dan non fisik, dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu. Ilmu itu keseluruhannya termasuk bagian dari ilmu Allah yang mencakup wilayah yang amat luas. Ilmu Allah yang amat luas itu terdiri dari konsep-konsep yang apabila ditulis dengan tinta sebanyak air lautan dan pulpen sebanyak ranting-ranting pepohonan, ilmu Allah tersebut tidak akan selesai atau tidak akan habis ditulis. Oleh manusia ilmu tersebut diteliti, dikaji dan didistribusikan kepada berbagai lembaga-lembaga pendidikan, termasuk IAIN. IAIN memperoleh jatah seperti yang tertulis di dalam kurikulum atau silabinya, yang banyak berbeda dengan jatah lembaga pendidikan lain. Di IAIN jatah itu dibagi-bagi ke tiap-tiap fakultas, dan dibagi-bagi lagi ke tiap jurusan. Fakultas Dakwah mempunyai bidang kajian utama 'ilmu dakwah' yang membahas unsur-unsur yang terdapat di dalam bidang kajian tersebut. Dengan demikian kajian ilmu dakwah sangatlah luas.
Akan tetapi ruang lingkup pembahasan ilmu dakwah dapat diringkas sebagai berikut :
  1. Bentuk-bentuk penyampaian ajaran Islam dari seseorang atau kelompok kepada seseorang atau kelompok yang lain
  2. Cara-cara penyampaian ajaran Islam tersebut yang meliputi pendekatan, metode atau medianya,
  3. Efek atau pengaruh penyampaian ajaran Islam tersebut terhadap sikap dan tingkah laku individu dan masyarakat yang menerimanya.

Obyek Studi Ilmu Dakwah

Suatu ilmu pengetahuan hanya dapat disebut ilmu pengetahuan apabila ia memenuhi persyaratan yang dituntut oleh ilmu pengetahuan secara umum. Persyaratan yang dituntut itu ialah setiap ilmu pengetahuan harus memiliki obyek material dan obyek formal.
Obyek material suatu ilmu adalah materi atau bidang atau lapangan penyelidikan ilmu bersangkutan, sedangkan obyek formalnya ialah bagaimana obyek material tersebut dipandang. Beberapa ilmu pengetahuan dapat memiliki obyek material yang sama, tetapi ilmu-ilmu itu berbeda karena obyek formalnya berbeda. Sebagai contoh, psikologi, sosiologi dan pedagogi memiliki obyek material yang sama yaitu manusia, namun ilmu-ilmu itu berbeda karena obyek formalnya berbeda. Obyek formal psikologi, yaitu aktivitas jiwa dan kepribadian manusia secara individual yang dipelajari lewat tingkah laku. Obyek formal sosiologi adalah hubungan antarmanusia dalam kelompok dan antarkelompok dalam masyarakat, sedangkan obyek formal pedagogi ialah kegiatan manusia untuk menuntun perkembangan manusia.
Obyek material ilmu dakwah adalah proses penyampaian ajaran kepada umat manusia atau bentuk penyampaian suatu message yang berupa ide, ideologi, ajaran agama dan sebagainya dari seseorang kepada seseorang dari satu kelompok kepada kelompok lainnya. Sedangkan obyek formalnya adalah proses penyampaian ajaran kepada umat manusia. Apabila rumusan ini dijabarkan lagi maka obyek formal dakwah dapat dirinci berikut ini:
  1. Proses penyampaian ajaran Islam kepada umat manusia
  2. Hubungan antara unsur-unsur dakwah
  3. Proses keagamaan pada diri manusia
Dari penyebutan di atas dapat diketahui bahwa secara struktural ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu publisistik. Meski demikian kekhususan ilmu dakwah dibanding dengan publisistik terletak pada bahan message yang berupa ajaran Islam. Di samping itu di dalam ilmu dakwah terdapat proses komunikasi antara manusia dengan Tuhan, yang mana hal ini tidak terdapat di dalam publisistik

Metode Ilmu Dakwah

Yang dimaksud metode ilmu dakwah adalah cara kerja untuk dapat memahami obyek studi ilmu dakwah.
Metode ilmu dakwah meliputi metode historis, deskriptif, korelasional, ekperimental, kuasi eksperimental, dan metode aksi.
Metode historis yaitu penyelidikan yang mengaplikasikan metode pemecahan yang ilmiah dari perspektif historis suatu masalah. Dalam penyelidikan historis dilakukan analisis terhadap sebab-sebab suatu hal seperti peristiwa-peristiwa tertentu, proses-proses dan lembaga-lembaga peradaban manusia masa silam. Tujuannya adalah merekonstruksi masa lalu secara obyektif dan sistematis dengan mengumpulkan bahan, menilai, melakukan verifikasi dan mensintesiskan bukti untuk menetapkan fakta-fakta atau data-data dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Bentuk-bentuk sosial sekarang, kebiasaan-kebiasaan atau cara hidup kita mempunyai akar-akarnya di masa lalu. Karena itu sangatlah baik kalau dilakukan pelacakan melalui studi historis.
Dalam konteks ilmu dakwah, metode historis dapat digunakan untuk meneliti bentuk-bentuk dakwah pada zaman lampau misalnya pada zaman Nabi, khulafa' al-rashidin dsb; meneliti subyek dakwah, terbentuknya lembaga-lembaga keagamaan, melembaganya nilai-nilai atau norma-norma masyarakat dan lain-lain. Penggunaan metode ini juga sangat bermanfaat untuk mengkaji bagaimana kontinuitas dakwah dari masa ke masa beserta dinamika yang terjadi di dalamnya.
Metode deskriptif yaitu metode yang bertujuan melukiskan secara sistematis fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Dalam konteks ilmu dakwah, metode ini berguna untuk menuturkan, menganalisis dan mengklasifikasi obyek dakwah beserta lembaga-lembaganya, keadaan norma-normanya, kepercayaannya dan sebagainya.
Metode korelasional adalah kelanjutan metode deskriptif. Metode ini bertujuan mencari hubungan/korelasi antara variabel satu dengan yang lain. Dalam konteks ilmu dakwah metode ini dapat digunakan –misalnya- menyelidiki taraf pengamalan beragama masyarakat, kemudian menghubungkan apakah ada korelasi antara usia, tingkat ekonomi dan sebagainya dengan tingkat pengamalan beragama tersebut.
Metode eksperimental bertujuan untuk memperoleh data yang kongkrit tentang pengaruh suatu keadaan terhadap keadaan yang lain. Metode penelitian ini memungkinkan peneliti dapat memanipulasi variabel dan meneliti akibat-akibatnya. Metode ini dapat digunakan untuk meneliti efektifitas metode dan media dakwah.
Metode penelitian aksi bertujuan mengembangkan ketrampilan baru atau cara pendekatan baru dan untuk memecahka masalah dengan penerapan langsung di dunia kerja atau dunia aktual yang lain.
http://kamus-dakwah.blogspot.com/2009/01/ruang-lingkup-ilmu-dakwah-sebagai-ilmu.html 13.26

Kamus Dakwah 06.01

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Kamus Dakwah

SEBUAH KAMUS TENTANG DAKWAH DAN ILMU DAKWAH

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya





[1][1] Fuad Hassan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977) hlm. 16
[2][2] Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, cet. Ke-I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) hlm. 580-581
[3][3] Nushruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Pelajar 1988) hlm. 2
[4][4] Nushruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, hlm. 1-2
[5][5] Hujair A.H. Sanaky, Metode Tafsir (perkembangan metode tafsir mengikuti warna atau corak mufassirin), Edisi Ke-XVIII, (Al-Mawarid, 2008) hlm. 4
[6][6] Jamaluddin Ibn Manzhur, Lisan Arab, Juz X (Beirut: Dar al-Fikr, 1992) hlm. 26
[7][7] Manna Khalil al-Qaththan, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Quran, (Beirut: Mansyurat al-Ashr al Hadis, tt) hlm. 323
[8][8] Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia (Surabaya: Pustaka Progesif, 1987) hlm. 1565
[9][9] Musthafa Muslim, Mabahis Fiy al-Tafsir al-Maudhu’I, ( Damaskus: Dar al-Qalam, 1997) hlm. 16
[10][10] al-Farmawi, Abd al-Hayy, al-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo: Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, 1977) hlm. 62
[11][11] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Cet. Ke-XIX, (Bandung: Mizan, 1999) hlm.114
[12][12] Badr al-Din Muhammad al-Zarkashi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988 M) hlm. 61-72.
[13][13] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi‘Ulum al-Qur`an, Juz II, (Kairo: Dar al-Turath, 1985 M) hlm.  159-161
[14][14]Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, edisi terjemah, Ahmad Akrom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) hlm. 87
[15][15] Mustofa Muslim, Mabahith fi at-Tafsir al-Madu’i, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989) hlm. 40

Komentar

Postingan Populer